Viral!!! tentang Sewa Pacar di Mataram, LPA Khawatir Akan Berujung pada Prostitusi |
Kabarindoku.com || Mataram - Layanan sewa pacar sedang ramai dibicarakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebuah akun Instagram menawarkan jasa sewa pacar dengan tarif mulai dari Rp125.000 hingga Rp350.000.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Mataram, Joko Jumadi, menyatakan kekhawatiran mengenai fenomena sewa pacar yang sedang muncul di Mataram. Apalagi jika bisnis sewa pacar ini melibatkan anak-anak, hal itu dapat dianggap sebagai tindak kriminal.
"Jadi, mengenai kasus sewa pacar, ini dimulai dari Instagram. Ada satu akun yang menawarkan jasa sewa pacar, baik secara online maupun offline. Di sana, saya mengetahui bahwa pihak terafiliasi mengaku berusia 18 tahun. Bagi LPA, ini menjadi perhatian khusus," kata Joko saat dikonfirmasi di Mataram, Jumat (14/7/2023).
Di akun Instagram tersebut, tarif sewa pacar terinci untuk kencan online dan offline. Tarif untuk kencan online meliputi obrolan, panggilan telepon, dan pesan suara (voice notes/VN) seharga Rp125.000. Sementara itu, tarif untuk panggilan telepon adalah Rp35.000 per jam dan panggilan video seharga Rp45.000 per jam.
Adapun tarif untuk kencan offline adalah Rp250.000 untuk 3 jam, Rp300.000 untuk 4 jam, dan Rp350.000 untuk 5 jam. Durasi maksimal sewa pacar adalah 8 jam, dengan tarif tambahan Rp100.000 per jam.
Akun Instagram tersebut juga membuka pendaftaran untuk bakat dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Berusia 20 tahun ke atas.
2. Tinggal di Mataram.
3. Memiliki penampilan menarik.
4. Mengerti cara berpakaian dengan baik dan rapi.
5. Aktif berbicara dan menginisiasi topik.
6. Disiplin dengan waktu.
7. Mengirimkan CV resmi seolah melamar pekerjaan.
Joko mengingatkan agar tidak melibatkan anak-anak dalam bisnis sewa pacar. Meskipun bisnis ini diizinkan, atau tidak ada larangan atau tindakan kriminal. Namun, jika melibatkan anak-anak, ada potensi tindak kriminal.
"Tetapi di sisi lain, saya melihat fenomena sewa pacar ini sebagai sesuatu yang terlalu jauh, meskipun sudah dimulai di kota-kota besar. Namun di Lombok, hal itu masih belum diterima secara sosial dan budaya oleh masyarakat," ujar Joko ini.