URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA |
URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
INDONESIA
Penulis : YAEL ARGANI SARAGIH, S.H.
“…Zaman Beralih Musim Bertukar…” itu juga yang terjadi dengan Hukum
yang berlaku di Indonesia. Peribahasa ini mengingatkan kita dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan
Hukum Pidana atau yang disebut dengan KUHP. KUHP merupakan induk peraturan
hukum pidana di Indonesia. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvSNI)
merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang
diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886.
Pasca kemerdekaan,
pemerintah Indonesia mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau KUHP pada 1946. WvSNI
diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah
Belanda masih bernama Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia
mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau
KUHP pada 1946.
Aksi Kumham “Goes to Campus” , Ajang Sosialisasi RUU KUHP dan Dialog dengan Mahasiswa, di Kota Medan tepatnya di
Universitas Sumatera Utara (USU), Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia , Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum., mengatakan
setidaknya terdapat tiga nilai pokok yang melatarbelakangi kepentingan
tersebut, yakni harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, berorientasi pada
hukum pidana modern, dan menjamin kepastian hukum.
Bahkan Brian Z. Tamanaha telah mengintroduksi mirror thesis dengan menyatakan bahwa hukum suatu bangsa adalah cermin (mirror) bangsa tersebut. Dengan demikian pemberlakuan WvS hanya didasarkan kepada pertimbangan praktis yang bersifat temporer. Memang sudah seharusnya bangsa Indonesia bertekad melalui badan legislasi untuk mengganti hukum colonial belanda dengan hukum nasional yang bercorak Pancasila.
Adapun urgensi perubahan terhadap KUHP didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu alasan politis, alasan praktis, dan alasan sosiologis.[1] Alasan Politis, yakni sebagai negara yang Merdeka, wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional. Adapun alasan Praktisnya yaitu didasarkan kenyataan semakin sedikitnya sarana hukum Indonesia yang mampu memahami bahasa Belanda dan asas-asas hukumnya. Alasan sosiologis di mana KUHP berisi pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa.
Dengan demikian Hukum
Pidana dituntut untuk memberikan keadilan ditengah - tengah situasi yang tengah
berkembang dan terus berubah. KUHP nasional harus dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman khususnya perkembangan internasional dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi dan kesepakatan-kesepakatan Internasional.