PESANTREN MENGGERAKKAN “AGAMA SEBAGAI SUMBER INSPIRASI - by Prof. Dr. Hj. Nurhayati, M.Ag |
KABARINDOKU.COM ||INDONESIA - Kenyataan yang tidak terpungkiri bahwa agama telah menjadi entitas yang sangat mengakar pada masyarakat Indonesia. Tidak hanya melekat pada ruang privat namun juga banyak mengambil peran dalam berbagai praktik kehidupan sosial-komunal sehari-hari, mulai dari lapisan masyarakat pelosok desa hingga lapisan masyarakat perkotaan maju-modern sekalipun. Sehingga apa yang disebut Gus Men (Menteri Agama, red) bahwa agama adalah “sumber inspirasi,” merupakan hak milik setiap penganut dalam memahami agamanya.
Atas dasar hal tersebut, hubungan setiap agama dengan masyarakat akan selalu menjadi judul utama dalam kehidupan penganutnya. Bahkan agama selalu disertakan dalam kehidupan yang lebih formil dalam kehidupan bernegara, seperti diserap dalam perumusan undang-undang, nilai-nilainya dimuat dalam peraturan-peraturan, dipelajari pada lembaga-lembaga pendidikan dan bahkan menjadi identitas bagi institusinya.
Maka terkait Hari Santri tahun 2023 ini, penulis kali ini mengajak pembaca untuk berdiskusi mengenai sejauh mana pesantren sebagai lembaga pendidikan menjadikan Islam sebagai “sumber inspirasi” yang tepat bagi santri dalam kancah kehidupan global dan maju saat ini. Sebab pesantren merupakan satu di antara lembaga yang fokus dalam kajian-kajian keislaman.
Dalam catatan lintasan sejarah pesantren dapat dimaklumi bahwa lembaga ini mengambil peran cukup signifikan dalam pengembangan studi keislaman di Nusantara. Sebab pesantren telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, ia bersentuhan dengan banyak kondisi dan banyak generasi. Karenanya, pesantren menjadi lembaga otoritatif yang hampir jarang dikooptasi oleh negara yang notabenenya mempunyai usia lebih muda dari pesantren.
Pola atau model pesantren masa awal hingga berkembang membersamai perkembangan dan kontinuitas pesantren hari ini sejatinya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan meskipun sirkulasi pergumulan sistem tetap terasa menjadi bagian dinamika pertumbuhan dan perkembangan pesantren saat ini.
Memang pesantren memiliki ciri khas yang berbeda-beda, mulai dari pola pembelajaran, kurikulum, maupun dalam bangunan tradisi di dalamnya. Namun secara umum pesantren-pesantren tersebut secara bersama-sama mengembangkan studi keislaman di Nusantara. Dalam perjalanannya tidak semua mampu survive sebagaimana didefinisikan sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam saat ini, dengan ciri khas pendidikan klasik, tampaknya hanya pesantren yang mampu eksis hingga hari ini.
Banyak pengamat dan ahli yang telah menganalisis bagaimana ketahanan pesantren, mulai dari aspek otoritas kiyai, kurikulum, budaya pesantren, santri, hingga analisis sistem. Konsep ketahanan pesantren diakumulasikan menjadi kajian-kajian yang secara substansial selalu menarik untuk didalami. Salah satu misalnya yang menjadi fokus perhatian ialah tentang keberadaan santri di lingkungan pesantren.
Keberadaan santri di pesantren dalam banyak hal mempunyai perbedaan dengan keberadaan siswa di sebuah sekolah. Santri selain menjadi peserta didik dalam ruang formil juga menjalin hubungan yang diagonal, baik antara santri dengan santri lainnya, maupun hubungan kepada guru/kiyai. Santri yang tinggal di lingkungan pesantren akan menjelma sebagai “warga baru” yang kemudian dengan sendirinya berevolusi membentuk budaya yang berbeda ketika kembali ke masyarakat.
Kehidupan santri di pesantren ini tidak hanya menjadikan agama sebagai santapan ilmu, pemahaman, aturan dan kolektifitas ibadah semata, agama tanpa disadari telah menjadi rule of model terhadap pikiran, ucapan, perilaku, tampilan dan performanya. Kehidupan santri di pondok, di mana para kyai selaku figure central, masjid sebagai pusat dari segala aktivitas yang menjiwainya, serta kegiatan belajar-mengajar agama Islam di bawah pengajaran dan bimbingan para kyai yang diikuti para santri sebagai aktivitas utamanya membentuk agama sebagai inspirasi dalam lokus pesantren yang diikuti santri.
Terdapat berbagai macam kegiatan di dalam kehidupan pesantren, tak luput pula kegiatan ekonomi pesantren. Pada dasarnya, kegiatan ekonomi yang dilakukan di lingkungan pondok pesantren tentulah berdasarkan asas-asas agama Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Seperti yang kita ketahui, di dalam analisis ekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah “manusia ekonomi” (homo economicus) tetapi manusia sebagai “khalifah” (homo Islamicus) dalam mengelola amanah yang baik.
Belum lagi melalui pondok pesantren segala macam aspek kehidupan penduduk sekitar, seperti ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan menjadi lebih hidup dan berwarna penuh inspirasi. Dengan kata lain, semakin majemuk tingkat taraf ekonomi, kualitas pendidikan, serta semakin besar pengaruh kekuasaan, sehingga santri akan ikut meningkat pula budaya serta tradisinya. Dari pesantren inilah “agama sebagai sumber inspirasi” dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti arus zaman ini.
Terakhir, patut disampaikan di sini, bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak dapat terpisahkan lagi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pondok pesantren memiliki 3 (tiga) macam fungsi, yaitu: fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Maka sejatinya “agama sebagai inspirasi” dalam perayaan atau peringatan Hari Santri ini memahamkan kita bahwa pesantren telah berupaya terus-menerus menghasilkan banyak inspirasi dalam bidang pendidikan, dakwah Islam dan pemberdayaan masyarakat. Lalu bagaimana saat ini raihannya dalam ketiga fungsi pesantren ini? Insya Allah di lain waktu kita sambung kembali. Salam Hari Santri.