Nama : Fani Holidayani Ritonga
NIM : 227005084
Mata Kuliah : Pembaharuan Hukum
Fani Holidayani Ritonga |
PEMBAHARUAN ASAS HUKUM PIDANA
PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS DALAM KUHP LAMA DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2023 TENTANG KUHP BARU SERTA PENGIMPLEMENTASIANNYA
Asas legalitas (principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Adagium tersebut sebenarnya berasal dari Von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskan dalam pepatah Latin dalam bukunya yang berjudul Lechrbuch des peinlichen recht (1801).
Menurut Moeljatno asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada peraturan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.
Dalam KUHP Lama, Asas Legalitas diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi :
“(1) Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.
(2) Jika terjadi perubahan di dalam perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan, maka dikenakanlah terhadap si tersangka ketentuan yang paling menguntungkan baginya.”
Maksud dari Asas Legalitas dalam KUHP Lama sesuai dengan makna pada Asas lex tempores delicti, dimana kejahatan itu terjadi maka undang-undang pada saat itulah yang berlaku. Asas ini disebut juga sebagai Asas Non-Retroaktif yang artinya larangan berlakunya undang-undang pidana secara surut. Sehingga dalam KUHP Lama, Asas Legalitas dimaknai dengan tidak adanya perbuatan yang diancam dan dilarang dengan pidana jika hal tersebut terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi, dan aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dalam KUHP Baru, Asas Legalitas diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi :
“(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”
Maksud dari Asas Legalitas dalam KUHP Baru yaitu peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Sedangkan mengenai larangan Analogi, penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang dan peraturan daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah.
Dalam KUHP baru juga dimaknai dengan adanya akomodir hukum yang hidup dalam masyarakat yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) yang menegaskan didasarkan pada kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Sehingga hukum adat dapat diberlakukan sesuai dengan ketentuan hukum daerah tersebut.
Selain itu, memungkinkan pemberlakuan hukum pidana secara surut (retroaktif) sepanjang peraturan tersebut menguntungkan pelaku yang terdapat dalam pasal 3 ayat (1) KUHP Baru. Dimana adanya hukum pidana berlaku surut apabila : Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi dan perubahan tersebut menguntungkan pelaku tindak pidana, Perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, jika setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan peruundang-undangan yang baru.
Sehingga terdapat 3 pembaharuan hukum pidana pada asas legalitas dalam KUHP Baru, yaitu menegaskan (mengatur secara eksplisit) larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan tindak pidana; diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai hukum pidana adat; terkandung 2 asas legalitas yaitu asas legalitas formal dan asas legalitas materiel. Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidananya suatu perbuatan adalah undang-undang (hukum tertulis) yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sedangkan pada asas legalitas materiel menentukan dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).
Pengimplementasian Asas legalitas dalam KUHP Baru mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, contohnya larangan LGBT dimana tidak sesuai dengan norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat. Memang belum ada undang-undang secara tegas yang mengatur mengenai LGBT ini, tetapi perbuatan LGBT bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat. Sehingga bisa saja apabila adanya pengaduan dari masyarakat mengenai perbuatan LGBT akan di tindak sesuai dengan makna asas legalitas dalam KUHP Baru nanti.
Tetapi, sebenarnya dalam KUHP Baru telah ada pasal yang dapat menjerat LGBT yaitu dalam Pasal 414 KUHP tentang pencabulan, yang berbunyi :
(1) “ Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau
c. yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memalsa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
Sehingga Pasal tersebut dapat dijerat apabila ada pihak yang mengadukan karena pasal tersebut bersifat delik aduan. Namun, masih saja pasal tersebut dianggap akan kurang pengimplementasiannya untuk menjerat LGBT, sehingga perlu kepastian hukum untuk memberikan keadilan, bahwa ancaman pidana tidak hanya diberikan kepada pelaku pencabulan sesama jenis, tetapi juga LGBT yang memang sama-sama terjerat.