REFLEKSI 78 TAHUN KEMERDEKAAN - MENATA ULANG INDONESIA




KABARINDO Sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Indonesia, dari segi mana pun, sedang digerogoti penyakit yang mendorong negeri ini pada situasi sangat mengkhawatirkan.  Kita khawatir, imajinasi *Peter W Singer* dalam novel _Ghost Fleet_ (2015), menjadi kenyataan: _Indonesia akan bubar di tahun 2030._


Bila berkaca pada Pembukaan UUD 1945, keadaan sekarang ini  sebagai pepatah  “jauh panggang dari api”. Bayangkan, Pembukaan UUD 1945 menggambarkan satu bangsa yang gagah dengan tekad kuat membangun bangsanya untuk berdiri tegak, tampil di tengah gelanggang dunia untuk memainkan peran menghapus penjajahan di atas dunia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  Tetapi kenyataannya, sudah 78 tahun merdeka, jangankan tampil di pentas dunia, tegak berdiri di kaki sendiri pun _masih sempoyongan._ Benar-benar musibah!


Lalu, dari mana datangnya musibah ini? Tentu dari pelanjut, pewaris negeri, terutama mereka yang diberi amanah mengelola. Para pengelola kurang menghayati arti perjuangan kemerdekaan dan cita-cita Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 oleh _the founding fathers._  Malah, perlahan, mereka menjelma menjadi penguasa yang merasa mewarisi segalanya tentang negeri ini: tanahnya, airnya dan apa saja yang ada di dalam isi perut buminya. Bahkan juga menguasai rakyat yang mendiami negeri ini. 


Mereka bermetamorfosa menjadi penjajah baru, atau mewakili negeri penjajah baru, untuk (membantu) mengeksploitasi sumber daya alam dan menindas anak negeri. Bukan sebagai nakhoda yang membawa kapal dan penumpangnya menuju labuhan hati sesuai navigasi Pembukaan UUD 1945.


Agar republik ini tidak sampai “dooaar” meledak, perlu segera ditata ulang. Tentulah banyak agenda yang harus dilakukan. Tetapi yang pasti, yang jadi prioritas adalah menyingkirkan pola kepemimpinan kodok (rakus, berpikiran picik tapi merasa paling jumawa) dan menggantikannya dengan pola kepemimpinan semut (membangun pola kerjasama yang harmonis), bila mengambil ilustrasi dunia hewan. Tanpa adanya pergantian pola kepemimpinan, kisah negeri ini akan tetap diwarnai kepedihan.


Bila ingin mengambil pelajaran dari dunia nyata, maka contoh yang tepat adalah kepemimpinan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Mereka adalah orang-orang shaleh, yang seluruh aktivitasnya ditujukan untuk mengabdi kepada Allah, bukan untuk memenuhi ambisi nafsu syahwatnya. 


Terbukti, dengan karakter seperti itu, mereka mampu membangun lembah tandus yang awalnya tidak ada kehidupan menjadi sebuah negeri  terhebat. Ada jaminan keamanan, makmur dengan segala sandang pangannya, 24 jam tidak pernah sepi, orang-orang di seluruh dunia pun rindu untuk mengunjunginya. Itulah Mekkah yang diberkahi Allah.


Jadi, negeri ini harus dikelola orang-orang shaleh, tidak boleh dikelola orang berwatak pendusta atau pembuat berita bohong. Jangan pula dikelola para pembajak, baik pembajak ide atau gagasan, karya seni atau karya ilmiah, atau pembajak kerja dan rencana orang lain.  


Pembajak itu pada hakekatnya adalah perampok: mengambil paksa karya orang lain demi syahwatnya. Hanya orang  Shaleh-lah yang dapat menghantarkan Indonesia ke cita-citanya, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. _Wallahu a’lam bisshawab._


_*#Ayo Dukung Politisi Nasionalis-religius.*_

Post a Comment

Previous Post Next Post