URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DALAM PENJATUHAN SANKSi TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

Meirossa Taradita Rozak
 

ARTIKEL

URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DALAM PENJATUHAN SANKSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM 

 

Meirossa Taradita Rozak

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara 

Akhir-akhir ini kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelakunya sangat sering terjadi, seperti misalnya berbagai perundungan (bullying) yang melibatkan anak sebagai pelakunya dan juga korbannya. Adapun kasus perundungan (bullying) yang saat ini tengah menjadi atensi publik yaitu kasus pemukulan siswa SMP di Cilacap dan kasus siswa SD yang dicolok matanya di Gresik. Yang tak tanggung-tanggung efek dari perbuatan perundungan (bullying) yang dilakukan anak tersebut mengakibatkan korbannya mengalami penderitaan fisik dan mental yang tak dapat dipandang sepele, sebagaimana anak korban pada kasus perundungan di Cilacap mengalami patah tulang rusuk dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan kasus perundungan siswa SD di Gresik mengakibatkan korbannya mengalami buta permanen.

Tentu saja, kasus-kasus yang melibatkan anak ini benar adanya dan menimbulkan kegeraman bagi masyarakat yang beranggapan bahwasanya tingkah anak-anak pelaku perundungan ini diluar batas kewajaran anak-anak dan tidak dapat dipandang menjadi sekedar candaan semata. Sehingga atas perbuatan merugikan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut juga harus dihukum dengan setimpal dan sesuai dengan perbuatannya.

Dari Segi Hukum

UU PERLINDUNGAN ANAK

Dipandang dari segi hukum, perbuatan perundungan yang dilakukan oleh Anak tersebut bersentuhan dan memenuhi unsur tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi : “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” serta Pasal 351 ayat (2) yang berbunyi : “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Bahwa akan tetapi, perlu dicermati bahwasanya anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkedudukan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (anak pelaku tindak pidana), anak sebagai korban tindak pidana, maupun anak sebagai saksi tindak pidana secara khusus diatur dan diberikan perlindungan khusus sebagaimana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bagi anak pelaku, secara tersirat Pasal 69 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwasanya penjatuhan sanksi pidana hanya dapat dijatuhi pada anak berusia 14 tahun sampai dengan usia 18 tahun. Sehingga, bagi anak-anak pelaku tindak pidana yang berusia kurang dari 14 tahun, namun berada dalam rentang usia 12-14 tahun hanya dapat dijatuhi sanksi tindakan.

Selanjutnya, formulasi sanksi pidana pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki karakteristik yang sangat unik yaitu dengan menempatkan pidana penjara pada posisi terakhir. Selain itu, sebagaimana Pasal 81 ayat (2) UU SPPA mengatur secara tegas bahwasanya penjatuhan pidana penjara pada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

UU NO. 1 TAHUN 2023

KUHP terbaru juga menguatkan aturan dalam UU No. 11 Tahun 2012 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 40 KUHP menyatakan : “Pertanggunglawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.”  Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 70 KUHP juga menyatakan bahwasanya pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan yang salah satunya apabila Terdakwa adalah Anak.

Apakah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah berjalan efektif menimbulkan efek jera bagi anak pelaku tindak pidana ?

Terhitung sejak Tahun 2012, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah berlaku lebih dari 11 tahun, yang akan tetapi bahkan setelah diberlakukannya UU SPPA yang memberikan perlindungan dan kekhususan bagi anak yang berkonflik dengan hukum juga tidak efektif memberikan sanksi jera kepada anak-anak sebagai pelakunya. Bahkan anak-anak pelaku tindak pidana terkesan ‘terlindungi’ dan ‘terbentengi’ oleh hukum dengan adanya batasan umur bagi anak-anak yang dapat dijatuhi sanksi pemidanaan dalam UU SPPA. Bagi perbuatan anak yang tidak diancam pidana lebih dari 7 (tujuh) tahun dan juga bukan merupakan pengulangan tindak pidana, diberikan keleluasaan untuk melakukan diversi (pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana).

Akan tetapi, apakah dengan begitu banyak keleluasaan dan perlindungan bagi anak pelaku dalam SPPA ini kemudian menimbulkan efek jera bagi pelakunya? Atau malah sebaliknya menimbulkan rasa tidak takut hukum dan kebal hukum bagi pelakunya? Bahwa kemudian, dari aspek perlindungan korban, apakah setimpal apabila perbuatan anak pelaku hanya dijatuhi pidana yang tidak sesuai dengan penderitaan yang dirasakan oleh anak korban, baik penderitaan fisik maupun trauma yang pasti akan menimbulkan bekas hingga anak korban tersebut tumbuh dewasa.

Dikaji dari aspek pembaharuan hukum pidana, pembaharuan hukum pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum sosio-politik, sosio- filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Ditinjau dari nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia, maka untuk menimbulkan efek jera bagi anak pelaku tindak pidana ataupun bagi anak-anak lain agar tidak melakukan tindak pidana ialah dengan pemberian efek sosial bagi anak pelaku tindak pidana dan selain itu, harus ada peran pro-aktif dari sekolah, keluarga, dan juga pemerintah untuk membatasi dan tidak memberi ruang bagi anak untuk melakukan perundungan yang mengarah kepada kekerasan.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post