Bagi Indonesia,
pemahaman mengenai mekanisme transmisi moneter juga sangat penting untuk
meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mencapai dan menjaga
kestabilan harga dan nilai tukar rupiah yang diperlukan guna mendukung proses
pemulihan ekonomi. Kebutuhan ini semakin mendesak terutama karena dua
pertimbangan, yaitu, pertama, perlunya menjaga stabilitas moneter pasca krisis
1997 dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional dan, kedua, semakin besarnya
tuntutan terhadap pelaksanaan kebijakan moneter dengan berlakunya UU Bank
Indonesia yang baru.
Seperti
diketahui bersama, sejak krisis pertengahan tahun 1997 upaya pemeliharaan
stabilitas ekonomi makro untuk mendukung proses pemulihan ekonomi Indonesia
mengalami tantangan dengan adanya tekanan yang demikian besar terhadap nilai
tukar rupiah dan inflasi. Nilai tukar rupiah melemah dan cenderung bergejolak
terutama karena besarnya eksposur utang luar negeri Indonesia yang diperberat dengan
adanya spekulasi di pasar valuta asing dan ketidakstabilan kondisi sosial
politik di dalam negeri. Tekanan inflasi meningkat karena kombinasi dari faktor
melemahnya nilai tukar rupiah, kenaikan harga-harga yang diatur Pemerintah
Indonesia (administered prices) dan meningkatnya ekspektasi inflasi di
masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kebijakan moneter telah
diarahkan untuk mengendalikan likuiditas di pasar uang melalui pengendalian
sasaran operasional uang primer (base money) sesuai dengan program IMF. Namun
demikian, efektivitas kebijakan moneter tersebut sangat ditentukan oleh
bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai
aktivitas ekonomi dan keuangan, khususnya dalam rangka mengendalikan inflasi
dan mendukung proses pemulihan sektor riil. Permasalahan menjadi semakin berat
dengan kebelumnormalan fungsi intermediasi perbankan yang memegang peran
penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Pemahaman
mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter juga semakin diperlukan dalam
rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan moneter sesuai dengan UU
Bank Indonesia, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 yang telah diamandemen dengan UU No.
3 Tahun 2004. Dalam kaitan ini, secara implisit UU tersebut telah mengamanatkan
kepada Bank Indonesia untuk menerapkan kerangka kerja kebijakan moneter yang di
dalam literatur ekonomi sering disebut Inflation Targeting Framework. 7 Hal ini
terutama dapat dilihat dengan adanya pengaturan di dalam UU tersebut bahwa
kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia serta adanya pengumuman
sasaran inflasi dimaksud. Untuk mencapai tujuan tersebut, kepada Bank Indonesia
diberikan kewenangan penuh (instrument independent) dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, dalam melaksanakan kebijakan
moneter Bank Indonesia mempunyai 13 instrumen moneter antara lain Operasi Pasar
Terbuka (OPT), intervensi rupiah, sterilisasi valuta asing, fasilitas diskonto,
Giro Wajib Minimum (GWM), dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Dengan dua
pertimbangan di atas, pemahaman yang jelas mengenai mekanisme transmisi moneter
sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan moneter,
khususnya dalam rangka penerapan kerangka kerja inflation targeting.
Berdasarkan kerangka kerja inflation targeting, kebijakan moneter yang ditempuh
saat ini harus diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke
depan. Dengan demikian, dengan mempertimbangkan bahwa pengaruh kebijakan
moneter terhadap inflasi dan output riil memerlukan tenggat waktu, strategi
kebijakan moneter harus dirumuskan secara forward looking agar sasaran inflasi
tersebut dapat dicapai. Permasalahan adalah bahwa pengaruh kebijakan moneter
tersebut terhadap ekonomi riil dan inflasi, seperti telah dijelaskan secara
panjang lebar dalam bagian sebelumnya, bekerja melalui berbagai saluran
transmisi moneter. Di sinilah letak pentingnya pemahaman yang jelas dan lengkap
mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter untuk perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter secara forward looking tersebut.