Oleh Ahmad Taufik Nasution
Wujud dari segala Maha adalah Kebesaran, kebesaran pada yang Maha Wujud, tidak bisa dilukiskan seperti para hero di film dan Sinetron, bahkan kebesarannya tidak bisa anda tasawwirkan dalam imajinasi, karena otak kecilmu itu tidak akan mampu mendaur ulang atau menciptakan imajinasi yang melampaui kebesarannya. Itu sebabnya ketika berhadapan denganya, kata yang bisa mewakili kebesarannya adalah Allahu Akbar.
Alahu Akbar 3x diucapkan dipagi hari di Bulan Syawal adalah satu fase spiritual, bahwa puncak kemenangan adalah kembali atas pengakuaan kebesarannya. Kalimat, Allahu Akbar adalah adalah satu lafadz yang akan meringankan semua beban kehidupan dunia, kehidupan yang sangat kecil tapi kita pandang maha, kehudupan yang sangat pendek tapi kita anggap maha, kehidupan yang segera betakhir tapi kita anggap maha, kehidupan yang semu kita anggap maha. Takbir mengingatkan kita pada keindahan pengakuan bahwa semuanya akan kembali kepada yang satu, yang ahad, yang tunggal yang menjadi keabadian bagi makhluk batiniah.
Penegasan pada Kebesarannya tidaklah cukup, jika tidak dilanjutkan dengan keberanian berbeda pada mereka yang bermuka dua, pada mereka yang membangkang atas kebenaran, bagi mereka yang kufur, bagi mereka yang menjadikan dunia adalah target bukan alat, bagi mereka yang berdiri di atas kecongkakan dan kesombongan menerima kebaikan. Jadi keutuhan batiniah akan lengkap dengan melawan keangkaramurkaan dan kepongahan, itu sebabya takbir dan sholat adalah wujud amal ma'ruf dan nahimunkar, kebaikan apalagi kebenaran tidak akan terwujud jika tidak diikuti dengan melawan kebatilan, minimal berani mengatakan ini adalah haq dan itu adalah bathil. Sebab yang menghancurkan agama ini adalah mereka yang ada di dalam tapi diam atas kebatilan, diam atas korupsi disekitarnya, diam atas kebejatan moral dilingkungannya, kondisi manusia seperti ini oleh A.A.Navis pernah digambarkan dalam kisah imajiner di akhirat, mereka kira mereka masuk surga atas amal ibadahnya, nyatanya disana mereka menelan pil pahit, karena mereka egois menyelamatkan dirinya dan mengabaikan lingkungan yang rusak di sekitarnya.
Kini, Syawal menantang kita tidak hanya dalam hal ibadah tapi juga kesalehan atas lingkungan, yang biasa juga disebut kesalehan sosial. Ditengah kehidupan yang demikian berubah dan dinamis, kita perlu kembali melakukan reorientasi ketuhan kita, bertuhan bukan karena diri, bertuhan karena surga, tapi bertuhan karena panggilan untuk melawan yang batil, melawan kesombongan mereka yang menuhankan jabatan, menuhankan harta, menuhankan pasangannya, menuhankan pulus, menuhankan anak, menuhankan dirinya. Akhirnya semua harus mengikhlaskan diri pada satu barisan satu kebenaran, satu akhir yaitu menghambakan diri pada yang Akbar.