PEMBAHARUAN DALAM BUDAYA HUKUM PIDANA Oleh: Twenty Seven Gus Five Boy Harefa

 

Twenty Seven Gus Five Boy Harefa

PEMBAHARUAN DALAM BUDAYA HUKUM PIDANA

Oleh: Twenty Seven Gus Five Boy Harefa

Magister Hukum Universitas Sumatera Utara

Dinamika struktur sosial masyarakat sebagai akibat interaksi yang terjadi secara kontinu membawa konsekuensi perkembangan hukum yang berkembang di masyarakat. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang diarahkan kepada mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat kedalam materi muatan peraturan hukum pidana merupakan bentuk dari politik kriminal melalui upaya kriminalisasi perbuatan.

Upaya yang demikian merupakan usaha menekan kejahatan yang terjadi di masyarakat, sekaligus linier dengan upaya menciptakan kesejahteraan karena kondisifitas dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi salah satu penunjang terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kemajemukan hukum merupakan suatu keuntungan namun juga menjadi permasalahan karena kemajemukan hukum apabila tidak diakomodir didalam peraturan perundang-undangan dapat menjadi pemicu tidak efektifnya hukum, karena hukum tersebut tidak sejalan dengan kultural masyarakat atau dapat diartikan masyarakat tidak menginginkan hukum yang tidak sesuai dengan masyarakat.

Mengakomodasi hukum yang hidup didalam masyarakat pada prinsipnya merupakan langkah yang dinilai bagus mengingat sejarah bangsa indonesia yang pernah dijajah oleh belanda yang menyebabkan sistem hukum indonesia mengikuti sistem hukum negeri belanda dan lebih miris lagi Ketika pasca kemerdekaan hukum uang berlaku khususnya hukum pidana tetap hukum negeri belanda menggunakan asas konkondasi.

Memperhatikan arah pembaharuan hukum pidana Indonesia yaitu bagaimana menyelaraskan dengan tujuan nasional melalui mengakomodir hukum yang hidup didalam masyarakat kedalam hukum positif. Pembaharuan hukum pidana, khususnya hukum pidana materil berhubungan langsung dengan kriminalisasi perbuatan. persoalan kriminalisasi saat ini adalah menekankan kepada perbuatan yang dilarang namun tidak diikuti dengan sanksi dengan corak adat yang tujuannya pemulihan yang tercermin melalui ritual-ritual adat.

Rancangan KUHP sebagai ius contituendum memiliki arah futuristic dimana jenis sanksi lebih bervariasi dibandingkan KUHP saat ini merupakan warisan belanda dengan corak budaya yang berbeda. KUHP saat ini dengan corak baratnya berorientasi kepada keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan indonesia sebagai negara timur berorientasi kepada kedamaian sebagai tujuan hukum. Falsafah bangsa indonesia merupakan falsafah yang digali dari budaya dan kehidupan bangsa indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Perubahan dalam RUU KUHP berupa bertambahnya pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Rumusan demikian menunjukkan tujuan hukum yang berorientasi ketimuran berupa kedamaian. Argumentasi penulis didasarkan kepada kenyataan dalam masyarakat adat bahwa pelanggaran (tindak pidana) dipandang sebagai gangguan terhadap keseimbangan (evenwichtstoring), keselarasan, dan keserasian, dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual maupun masyarakat. Pemidanaan merupakan reaksi masyarakat yang bertujuan untuk memulihkan kembali rusaknya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagai akibat dari suatu pelanggaran (tindak pidana). Rusaknya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagai suatu kekacauan dibalas dengan melaksanakan ketentuan adat bertujaun mengembalikan rusaknya keseimbangan, keserasian dan keselarasan agar menjadi damai menjadi damai kembali merupakan tujuan hukum berorientasi ketimuran.

Perkembangan RUU KUHP yang mulai mengarah kepada tujuan hukum yang bercorak ketimuran dipandang telah mengakomodasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta upaya mengelaborasikan sistem hukum yang ada di Indonesia yaitu bagaimana mempertemukan antara hukum modern melalui legal formalistiknya dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber nilainya. Namun alangkah lebih komperhensifnya apabila ketentuan pembayaran adat ditempatkan sebagai pidana pokok bukan sebagai pidana tambahan, sehingga menjadi yang utama (primer) namun kepada tindak pidana yang dikristaliasasi dari ketentuan adat atau tindak pidana adat yang kemudian diatur dalam hukum positif yang secara otomatis diikuti dengan sistem sanksi agar tidak menghilangkan ciri hukum adat sekaligus pengejawantahan corak ketimuran yaitu hadirnya kedamaian. Pengejawantahan ini juga merupakan bentuk social defence yang menurut Marc Ancel masyarakat dalam konfigurasi sosialnya mensyaratkan adanya ketertiban sosial melalui seperangkat aturan yang sesuai kebutuhan dan sesuai aspirasi.

Masa depan pembaharuan hukum indonesia saat ini diarahkan kepada upaya reo-rientasi substansi aturan-aturan hukum pidana yang dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan masyarakat indonesia karena banyak perbuatan jahat dalam optic masyarakat tidak termasuk sebagai perbuatan jahat dan dilarang dalam optic hukum positif. Semua terjadi karena hukum pidana Indonesia secara umum merupakan warisan dari belanda yang secara kultur masyarakat berbeda dengan kultur masyarakat indonesia yang bercorak ketimuran.

Memperbaharui hukum pidana Indonesia yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat bukan perkara yang mudah. Ketentuan-ketentuan adat atau kewajiban adat yang harus dilaksanakan apabila terjadi pelanggaran menurut optik hukum pidana adat sebagai upaya pengembalian keseimbangan, menimbulkan permasalahan manakala upaya mengakomodir hukum adat kedalam aturan hukum positif tidak disertai dengan pelaksanaan ketentuan/kewajiban adat karena akan menghilangkan eksistensi dari hukum adat sebagai upaya pemulihan karena pelanggaran. Ketentuan dalam RUU KUHP yang menempatkan pelaksanaan/pembayaran ketentuan adat sebagai pidana tambahan akan dirasa lebih tepat apabila dijadikan sebagai pidana pokok, namun disebutkan secara langsung kepada tindak pidana tertentu yang berasal dari ketentuan adat.

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post