PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM PIDANA MELALUI PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA - Nida Syafwani Nasution, S. H.

Nida Syafwani Nasution, S. H.
 

PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM PIDANA MELALUI

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

 Oleh: Nida Syafwani Nasution, S. H.

Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/

Analis Perkara Peradilan Pengadilan Tinggi Medan 

Pembangunan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan perilaku individu yang dilakukan karena dorongan dari peraturan dan sanksi yang datang dari luar yang tidak bisa terlepas dari sektor-sektor pembangunan seperti: ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Keterkaitan antar berbagai sektor pembangunan menjadikan pembangunan hukum bukan hanya ditujukan untuk kesejahteraan lahir saja, akan tetapi juga terkait adanya ketentraman hidup yang terkandung dari rasa keadilan masyarakat. Pembangunan hukum nasional diantaranya melakukan Pembaharuan Hukum Pidana, yang telah di mulai sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, yakni sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 (KUHP-1946).

            Menurut Sudarto terdapat 3 (tiga) alasan mengenai arti penting dalam pembaruan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana materiil (KUHP-1946) di Indonesia yang meliputi alasan politik, sosiologis, dan praktis. Dipandang dari sudut politik, negara Indonesia yang telah merdeka sudah sewajarnya mempunyai  KUHP yang diciptakan sendiri, dan pada tanggal 2 Januari 2023, telah lahirlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP-2023) karya Putra Putri Terbaik Bangsa yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang. Dipandang dari sudut sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang. Dipandang dari sudut praktis, mengingat teks resmi KUHP 1946 yang sekarang berlaku berbahasa Belanda, maka merupakan suatu keharusan untuk mengerti Bahasa Belanda agar KUHP-1946 bisa diterapkan dengan tepat. Kondisi ini, akan berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan makna aturan dalam KUHP-1946. Akan tetapi seluruh permasalahan ini telah terjawab dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

            Konsep pendekatan Restorative Justice juga lahir dan dipandang sebagai Pembaharuan dalam Sistem Hukum Pidana. Konsep ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana, korban/keluarga korban dan masyarakat. Walaupun konsep Restorative Justice tidak tertuang secara eksplisit dalam KUHP Nasional yang baru akan tetapi bila dilihat pada Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP Nasional maka terdapatlah pedoman pemidanaan yaitu apabila dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian dan keadilan maka Hakim wajib mengutamakan keadilan.

Konsep Restorative Justice  ini dijalankan dengan adanya kebijakan berupa aturan dari Kepolisian seperti Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Peratuan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang di dalam Pasal 1 angka 27 dan Pasal 12 menjabarkan tentang mekanisme penyelesaian perkara dengan menggunakan keadilan restoratif, sementara Kejaksaan menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sedangkan Mahkamah Agung juga menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.0012/2020 Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Walaupun Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum tersebut telah ditangguhkan pada 15 November 2021 akan tetapi Mahkamah Agung berjanji akan segera menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Restorative Justice.

Bentuk keseriusan Mahkamah Agung RI dalam menerapkan Restorative Justice dapat dilihat dengan penyelenggaraan Bimbingan Teknis Terpadu Penanganan Perkara Berbasis Keadilan Restoratif di Lingkungan Badan Peradilan Umum sejak tahun 2021 sampai dengan sekarang dan adanya Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Menteri Hukum dan HAM, dan Kepala Kepolisian RI  Nomor 131/KMA/SKB/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif.

Penyelesaian perkara melalui konsep Restorative Justice ini merupakan Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dikarenakan Indonesia merupakan jajahan Belanda maka masih terngiang bahwa penegakan hukum menitikberatkan Pembalasan bagi orang yang melakukan kejahatan bukan pada pemulihan ke keadaan semula dan keseimbangan di Masyarakat. Hukum bukanlah pembalasan akan tetapi hukum adalah keadilan.

Konsep Restorative Justice ini tidak semata-mata untuk menghentikan perkara akan tetapi berprinsip pada kesukarelaan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Pada perkara anak, penerapan Restorative Justice harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi  anak. Syarat penerapan Restorative Justice ini bahwa Pelaku mengakui perbuatannya dan bertanggung jawab untuk pemulihan, korban bersedia untuk melakukan musyawarah untuk pemulihan, perwakilan masyarakat memberikan dukungan untuk pemulihan dan bukan pengulangan tindak pidana.

Dalam Hukum Acara Pidana apabila terjadi perdamaian antara pelaku dan korban tidak jarang Hakim membuat Yursiprudensi. Majelis Hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode Penafsiran teleologis yaitu berpedoman pada tujuan kemasyarakatan yaitu penemuan hukum dilakukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan di dalam masyarakat, Penafsiran futuristis yaitu dengan melihat ketentuan-ketentuan dalam KUHP baru khususnya mengenai konsep keadilan restoratif serta Penafsiran sistematis, yaitu dengan melihat konsep keadilan restoratif sebagai suatu sistem peraturan perundang-undangan hukum pidana yang terintegrasi dengan menganalisa peraturan-peraturan dan putusan-putusan pengadilan tentang keadilan restoratif;

Dalam Pasal 54 ayat (1) huruf j disebutkan bahwa dalam pemidanaan Hakim wajib mempertimbangkan salah satunya yaitu pemaafan dari korban atau keluarga korban, kemudian dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Ketentuan Pasal 54 ayat (2) di atas dalam doktrin hukum pidana dikenal dengan istilah Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim, yang mana konsep Pemaafan Hakim dalam hukum positif di Indonesia juga sudah dianut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pada Pasal 70 yang berbunyi “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Konsep Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim sebagaimana diatur dalam KUHP baru dan Undang-Undang SPPA di atas, dimana syarat diterapkannya pemaafan hakim tersebut diantaranya yaitu Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian. Bahwa syarat-syarat tersebut diakhiri kata atau oleh karenanya syarat tersebut bersifat alternatif sehingga apabila salah satu sudah terpenuhi maka sudah cukup bagi Hakim untuk menjatuhkan Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim.

Ketua Mahkamah Agung RI Periode 2001-2008 Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formal dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan terhapus karena perdamaian. Padahal Penegakan Hukum bukanlah untuk menerapkan hukum saja, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil, sehingga tujuan hukum dapat terwujud yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. (NSN)

Post a Comment

Previous Post Next Post