TUJUAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA - By Monica (Magister Ilmu Hukum)

 TUJUAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Monica

NIM.227005170

Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara

e-mail: {monicasels2017@gmail.com}

Abstrak

Pembaruan Kitab Undang-undang hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal sudah pada tempatnya dan sudah pada waktunya segera dilaksanakan. Undang-undang ini akan mempengaruhi pula formulasi pembentukan undang-undang pidana khusus, sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam era keterbukaan pada abad ke-21. Perbedaan antara hukum pidana Indonesia yang tercermin dalam KUHP dengan  struktur sosial menunjukkan telah terjadi pluralisme hukum. Perbedaan ini karena KUHP sebagai lex generalisberasal dari Belanda yang memiliki latar belakang perbedaan budaya dengan Indonesia. Pembaharuan hukum pidana Indonesia saat ini mengarah kepada usaha mengkristalisasi hukum yang hidup dalam masyarakat kedalam  hukum  positif.  Melalui  pembaharuan  hukum  pidana  Indonesia  arah  pembangunan  hukum pidana  diarahkan  kepada re-orientasipokok-pokok  pikiran,  ide-ide  dasar,  atau  nilai  sosio-filosofis, sosio-kultural  dan  sosio-politik  yang  sesuai  dengan  keinginan  masyarakat  Indonesia  yang  tercermin dalam  Pancasila. 

Abstract

Reform of the criminal code as part of criminal politics is in place and it is time to implement it. This law will also influence the formulation of special criminal laws, in accordance with the legal needs of society in the era of openness in the 21st century. The difference between Indonesian criminal law as reflected in the Criminal Code and social structure shows that legal pluralism has occurred. This difference is because the Criminal Code as a lex generalis comes from the Netherlands which has a different cultural background from Indonesia. The current reform of Indonesian criminal law is aimed at efforts to crystallize the laws that exist in society into positive law. Through the reform of Indonesian criminal law, the direction of criminal law development is directed towards re-orienting the main ideas, basic ideas, or socio-philosophical, socio-cultural and socio-political values that are in accordance with the desires of the Indonesian people as reflected in Pancasila.

  

PENDAHULUAN

Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung  makna  suatu  upaya  untuk  melakukan reorientasi dan reformasi Hukum Pidana yang sesuai dengan  nilai-nilai  sentral sosio-politik,  sosio  filosofi dan    sosio-cultural    masyarakat    Indonesia    yang melandasi  kebijakan  sosial,  kebijakan  kriminal  dan kebijakan   penegakan   hukum   di Indonesia. [1]

Berkenaan dengan hal ini Barda Nawawi Arief menyatakan salah satu kajian alternative atau perbandingan yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide  Pembaharuan  Hukum  Nasional saat   ini   ialah   kajian   terhadap   Keluarga   Hukum (Family   Law)   yang   lebih   dekat   dengan   karakter masyarakat    dan    sumber    hukum di Indonesia Karakteristik   masyarakat   Indonesia   lebih   bersifat monodualistik    dan pluralistic dan berdasarkan berbagai kesimpulan seminar Nasional, sumber Hukum Nasional  diharapkan  berorientasi  pada  nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu yang bersumber  dari  nilai-nilai  Hukum  adat  dan  Hukum Agama.[2]

Pembaharuan  Hukum  Pidana  pada  dasarnya adalah  bagian  dari  Kebijakan  Hukum  Pidana.  Istilah kebijakan  dalam  istilah  asingnya  Policy  (Inggris) atau  Politiek  (Belanda).  Bertolak  dari  kedua  istilah asing  ini  maka  istilah    Kebijakan  Hukum  Pidana dapat  pula  disebut  dengan  istilah    Politik  Hukum Pidana    atau  Penal  Policy, Criminal Law Policy, Strafrechtspolitiek Menurut A. Mulder menyatakan Strafrechtspolitiek  adalah   Garis   Kebijakan   untuk menentukan: a) Seberapa  jauh  ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui, b) Apa   yang   dapat diperbuat   untuk   mencegah terjadinya    tindak    pidana, c) Cara    bagaimana penyidikan,  penuntutan,  peradilan  dan  pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. [3]

Pembaharuan    Hukum    Pidana    dalam    arti memperbaharui    secara menyeluruh    dan bukan secara   parsial   meliputi   Substansi   hukum   (LegalSubstance),  Struktur  hukum  (Legal  Structure)  dan Budaya hukum (Legal Culture). Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya termasuk bidang kebijakan hukum pidana yang merupakan bagian dan terkait erat dengan kebijakan penegakan hukum, kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Maka dari itu pembaharuan hukum pidana pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, serta mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial.[4]

Selain itu, pembaharuan hukum pidana juga merupakan bagian dari upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran atau ide-ide dasar atau nilai-nilai sosio filosofik, sosio-politik dan sosio kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP WvS). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana haruslah dirumuskan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.[5]

Oleh karena itu, sudah seharusnya pembaharuan hukum pidana bersumber pada ide-ide dasar Pancasila, yang merupakan landasan nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan dan digali untuk bangsa Indonesia. Ide-ide dasar Pancasila mengandung keseimbangan nilai atau ide didalamnya. Berikut keseimbangan ide atau nilai yang dimaksud:[6]

a.              Religiustik

b.             Humanistik

c.              Nasionalisme

d.             Demokrasi

e.              Keadilan Sosial.

Memiliki hukum pidana yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, Muladi berpendapat bahwa pembaharuan hukum pidana material perlu memperhatikan karakteristik operasional hukum pidana material di masa mendatang. Misalnya, hukum pidana material harus disusun dalam kerangka ideologi nasional; memperhatikan aspek- aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi Indonesia; dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan- kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab; memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif; dan harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas fungsinya dalam masyarakat.[7]

Indonesia sebagai suatu sistem yang berisi kumpulan orang- orang yang berbeda, tetapi satu karena persatuannya dengan meniadakan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan melebur dalam berbagai aspek. Pancasila adalah ideologi (keyakinan) bangsa Indonesia yang menghendaki agar manusia Indonesia sebagai manusia yang berketuhanan, berkemanusiaan, mempersatukan manusia akan cita-cita kemanusiaannya, bercakap-dengar dengan manusia lainnya, dan adil sebagai dasar cita akan keadilan. Pancasilalah yang dapat menjadi tolok ukur untuk dapat disebut sebagai “manusia Indonesia yang seutuhnya”.[8]

Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, hukum tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang dipengaruhi terus-menerus sesuai dengan kebutuhan dan kemauan masyarakat. Sistem hukum yang sesuai di Indonesia adalah sistem hukum yang dilandasi oleh nilai- nilai kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang oleh para founding father telah ditetapkan sebagai dasar falsafah bangsa dan negara. Dengan demikian, tatanan sistem hukum nasional harus mengacu pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila.[9]

 

A.           TUJUAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Hukum yang berlaku pada masyarakat senantiasa mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kehidupan sehingga menjadikan hukum sangat beragam macamnya. Kemudian hukum dapat dikaji dari berbagai aspek-aspek tertentu. Oleh sebab itu apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum Pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht) dan Hukum Pidana Formal (Formeel Strafrecht/ Strafprocesrecht).[10]

Perkembangan hukum Pidana dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain kemudian disusul suatu pembalasan. Pembalasan itu umumnya tidak hanya merupakan kewajiban seseorang yang dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.[11]

Konsekuensi logis dimensi perkembangan Hukum Pidana sebagaimana konteks di atas, ada sifat privat dari Hukum Pidana. Seiring berjalannya waktu, di satu sisi perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks dan masyarakat hukum yang relatif lebih maju maka Hukum Pidana kemudian mengarah, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari hukum Publik seperti dikenal sekarang ini. Di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan Perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat Publik dari Hukum Pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktikan sebagai sebuah bentuk “Mediasi Penal”, meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktik penyelesaian perkara Pidana diluar Sistem Peradilan Pidana.[12]

Mengakomodasi  hukum  yang  hidup  didalam  masyarakat  pada  prinsipnya  merupakan  langkah yang  dinilai  bagus  mengingat  sejarah  bangsa  Indonesia  yang  pernah  dijajah  oleh  belanda  yang menyebabkan  sistem hukum  Indonesia  (pada waktu dijajah  disebut hindia  belanda) mengikuti sistem hukum negeri belanda dan lebih miris lagi ketika pasca kemerdekaan hukum yang berlaku khususnya hukum pidana tetap hukum negeri belanda menggunakan asas korkondansi. Pengakomodasian hukum yang  hidup dimasyarakat memiliki persoalan  apakah yang diakomodir adalah  nilai-nilai dalam artian perbuatannya saja yang dianggap bertentangan dengan masyarakat atau keseluruhan termasuk kepada tindakan-tindakan  adat  yang  berlaku  terhadap  perbuatan  yang  dilangarnya,  karena  apabila  tidak menyertakan tindakan adat akan menhilangkan esensi dari hukum adat yang bertujuan pemulihan yang merupakan  corak  ketimuran  yang  mempunyai  falsafah  otenstik,  tidak  sama  dengan  bangsa  lain khususnya bangsa barat.[13]

Struktur  sosial  berupa  hubungan  antar  individu-individu  dalam  konfigurasi  sosial  merupakan basisi  dari  hukum  yang  mana  struktur  sosial  yang  dinamis  berdampak  kepada  perubahan  pola kehidupan. 4 Perubahan  struktur  sosial  yang  merupakan  basis  hukum  membawa  konsekuensi  hukum harus mengikuti perubahan yang terjadi. Perubahan ini menuntut hukum untuk memperbaharui dirinya. Pembaharuan hukum Indonesia khususnya hukum pidana dirasa perlu mengingat sejarah sistem hukum pidana  Indonesia  menganut  sistem  hukum  barat  yang  tentu  berbeda  apabila  ditinjau  dari  perspektif tujuan hukum barat dan timur. Indonesia sebagai negara timur harusnya menggunakan cara berhukum yang  memiliki  nuansa  kultur  ketimuran.  Achmad  Ali  mengemukakan  bahwa  tujuan  hukum menurut bangsa  timur/asia  atau  bisa  disebut  sebagai  teori  tujuan  hukum  timur,  yang    tidak  menempatkan mengenai “kepastian”, melainkan lebih menekankan kepada prinsip keadilan  adalah  keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian. Prinsip keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Acmad Ali  tersebut  dipandang  oleh  penulis  selaras  pula  dengan  prinsip  keadilan  menurut  falsafat  Pancasila sebagai  landasan  ideologi  bangsa  Indonesia  yang  menuntut  adanya  keseimbangan  dan  keselarasan antara  kepentingan  individu,masyarakat,  bangsa,  dan  negara. Akan  tetapi  kenyataannya  indonesia menggunakan  kultur barat yang penuh  nuansa  legal formalistik, tentu hal itu menimbulkan  pluralism hukum yang negatif.[14]

Arah pembaharuan hukum pidana Indonesiaberada pada posisi bagaimana mengakomodir hukum yang  hidup  dalam  masyarakat  kedalam  hukum  positif  dalam  bingkai  tujuan  nasional  yang  berkiblat kepada pancasila sekaligus alternatif yang bisa digunakan untuk menyikapi pluralism (kemajemukan) hukum di Indonesia agar dapat menghindari pertentangan antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya.  Mengakomodir  hukum  yang  hidup  dalam  masyarakat  merupakan  upaya  peninjauan  kembali sejumlah  larangan-larangan  yang  sifatnya amoral akan  tetapi  tidak  diatur  dalam  hukum  positif. Kebijakan  meningkatkan  perbuatan amoral sebagaia  perbuatan  pidana  menurut  Devlin,  maralitas merupakan   cerminan   eksistensi   masyarakat.   pengendalian   tindakan amoral oleh   hukum   dapat dibenarkan,   sehingga   kriminalisasi   didasarkan   kepada   perbuatan   yang   dianggap amoral dapat dibenarkan.14Sejalan  dengan  pendapat  dari  Devlin  menurut  Sudarto  pembaharuan  hukum  pidana Indonesia  saat ini diarahkan  kepada re-orientasipokok-pokok pikiran, ide-ide  dasar, atau nilai sosio-filosofis, sosio-kultural dan sosio-politik hukum pidana Indonesia sesuai dengan tujuan nasional yang bersemayam dalam ideologi bangsa.[15]

Seiring dengan perkembangan pilihan pola pemberatan sanksi pidana terhadap beberapa ketentuan pidana tertentu, maka kemudian hukum pidana khusus mengatur mengenai sistem penjatuhan sanksi jenis baru ini. Di dalam beberapa ketentuan undang-undang hukum pidana khusus sebagaimana disebutkan di atas, terhadap beberapa ketentuan khusus, maka sistem sanksi pidana kumulatif maupun kumulatif-alternatif selain tentunya sanksi pidana alternatif dapat juga diberlakukan, seperti halnya pidana penjara yang dijatuhkan secara bersamaan dengan sanksi pidana denda, sebagai contoh penjatuhan secara kumulatif. [16]

Beberapa ketentuan hukum pidana khusus telah menentukan perkembangan atas asas baru ini ke dalam sebuah frasa norma ‘dan’ untuk sanksi pidana kumulatif serta ‘dan/atau’ untuk sanksi pidana kumulatifalternatif dalam setiap ketentuan pidana terkait. Hal demikianlah yang kemudian menggeser asas sanksi pidana tunggal (single penalty) dalam hukum pidana menjadi dimungkinkan menggunakan sistem ganda (double penalties).[17]

Pembaruan dalam bidang hukum, khususnya pembaruan hukum pidana, tidak hanya membangun lembaga-lembaga hukum, tetapi juga harus mencakup pembangunan substansi produk-produk hukum yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum[18].

Adapun tujuan nasional itu sebagai garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Tujuan tersebut juga menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum, termasuk pembaruan hukum pidana Indonesia. Dengan demikian, ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana dan pidana yaitu “perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Kedua tujuan tersebut sebagai batu landasan (“a comerstone”) dari hukum pidana dan pembaruan hukum pidana.[19]

Berbicara tentang hukum adalah sama berbicara tentang aturan hukum yang harus berlaku dan yang mungkin tidak dinyatakan berlaku, untuk memecahkan masalah-masalah konkret di masyarakat. Dalam hal ini hukum harus dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur, mengontrol masyarakat. Hukum dalam arti ini bukan bagian dari sistem masyarakat, tapi kontrol dari sistem masyarakat.  pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia.[20]

KESIMPULAN

Negara Indonesia, peradilan formal ditegakkan oleh hukum positif (undang-undang) yang katanya untak menegakkan prinsip-prinsip rule of law belum mampu mencapai keadilan substansial. Upaya untuk mencapai keadilan substansial bisa gagal karena terbentur proedur yang haras dipenuhi dalam memenuhi legalitas sistem hukum modern. Namum demikian perlu diingat, hukum dapat diartikan sebagai dokumen antropologis (hukum adalah dokumen antropologis besar) karena penetapan hukum benar-benar mencerminkan upaya manusia sesuai dengan kondisi yang relevan untuk mengatur bersama-sama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Masa  depan  pembaharuan  hukum  Indonesia  saat  ini  diarahkan  kepada  upaya re-orientasi substansi aturan-aturan  hukum pidana yang  dianggap  tidak lagi relevan  dengan  kehidupan  masyaraat Indonesia karena banyak perbuatan jahat dalam optik masyarakat tidak termasuk sebagai perbuatan jahat dan dilarang dalam optik hukum positif. Semua terjadi karena hukum pidana Indonesia secara umum merupakan  warisan  dari  belanda  yang  secara  kultur  masyrakat  berbeda  dengan  kultur  masyarakat Indonesia  yang  bercorak  ketimuran.  Apabila  menempatkan  hukum  sebagai  cerminan  masyarakat, dengan  demikian  hukum  pidana  Indonesia  saat  ini  tidak  mencerminkan  hal  itu,  maka  pembaharuan hukum pidana Indonesia saat ini mengarah kepada re-orientasisubstansi hukum pidana Indonesia sesuai dengan kehendak masyarakat.

Memperbaharui  hukum  pidana  Indonesia  yang  sesuai  dengan  kehendak  masyarakat  yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat bukan perkara yang mudah. Ketentuan-ketentuan adat  atau  kewajiban  adat  yang  harus  dilaksanakan  apabila  terjadi  pelanggaran  menurut  optik  hukum pidana adat sebagai upaya pengembalian keseimbangan, menimbulkan permasalahan manakala upaya mengakomodir   hukum   adat   kedalam   aturan   hukum   positif   tidak   disertaidengan   pelaksanaan ketentuan/kewajiban  adat  karena  akan  menghilangkan  eksistensi  dari  hukum  adat  sebagai  upaya pemulihan karena pelanggaran. Ketentuan dalam RUU KUHP yang menempatkan pelaksanaan/pembayaran  ketentuan  adat  sebagai  pidana  tambahan  akan  dirasa  lebih  tepat  apabila dijadikan sebagai pidana pokok.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abildanwa, Taufiqurrohman. “Mediasi Penal Sebagai Upaya Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Berbasis Nilai-nilai Keseimbangan”. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. III No. 1 2016

Amrani, Hanafi. Politik Pembaharuan Hukum Pidana. 2019. Yogyakarta: UII Press

Irmawanti, Noveria Devy dan Barda Nawawi Arief. “Urgensi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia

Leonard, Tommy. “Pembaharuan Sanksi Pidana Berdasarkan Falsafah Pancasila Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Yustia, Vol. 5 No. 2 2016

Nugroho, Nunung. “Urgensi Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Dinamika Masyarakat Indonesia “. Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 14 No. 1 2017

Pradityo, Randy. “Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Singkat (Towards Criminal Law Reform of Indonesia: An Overview). Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No 2 2017

Yaris Adhiah Fajrin dan Ach. Faisol Triwijaya. “Arah Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia di Tengah Pluralisme Hukum di Indonesia”. Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, Vol. 18 No. 1 2019



[1] Noveria Devy Irmawanti dan Barda Nawawi Arief. “Urgensi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3 No. 2. 2021, hlm. 218

[2] Ibid

[3] Ibid, hlm. 219

[4] Randy Pradityo. “Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Singkat (Towards Criminal Law Reform of Indonesia: An Overview). Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No 2 2017, hlm. 140

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Tommy Leonard. “Pembaharuan Sanksi Pidana Berdasarkan Falsafah Pancasila Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Yustia, Vol. 5 No. 2 2016, hlm. 468

[8] Ibid, hlm. 471

[9] Ibid

[10] Taufiqurrohman Abildanwa, “Mediasi Penal Sebagai Upaya Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Berbasis Nilai-nilai Keseimbangan”. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. III No. 1 2016, hlm. 139

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Yaris Adhiah Fajrin dan Ach. Faisol Triwijaya. “Arah Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia di Tengah Pluralisme Hukum di Indonesia”. Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, Vol. 18 No. 1 2019, hlm 735

[14] Ibid, hlm. 736

[15] Ibid, hlm. 737

[16] Hanafi Amrani. Politik Pembaharuan Hukum Pidana. 2019. Yogyakarta: UII Press

[17] Ibid

[18] Nunung Nugroho, “Urgensi Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Dinamika Masyarakat Indonesia “. Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 14 No. 1 2017, hlm. 43

[19] Ibid, hlm. 45

[20] Ibid, hlm. 49




Post a Comment

Previous Post Next Post