Syarat-Syarat Kepailitan dalam Penyelesaian Pembayaran Utang Piutang dalam Perspektif Hukum Bisnis
Alfajri
Muhammad Chaniago
Mahasiswa
Magister Ilmu Hukum USU
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) menyatakan
bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
Salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa utang- piutang adalah Kepailitan. Dengan syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit sebagaimana dituangkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ada dua syarat yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan debitor tersebut tidak membyarkan sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi maka hakim harus menyatakan pailit debitor tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Istilah kepailitan dalam terminologi Bahasa Inggris disebut bankruptcy. Berdasarkan pengertian diatas terlihat bahwa kepailitan adalah suatu
sitaan atas harta kekayaan. Pasai 1 ayat (2) UU Kepailitan menyatakan bahwa:
“Kreditor
adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang- undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan. Debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan.”
Utang juga merupakan salah satu persyaratan pokok dalam mengajukan permohonan pailit dan untuk menjamin kepastian hukum maka Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan telah memberikan defenisi mengenai utang yaitu:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontijen), yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 diuraikan lebih lanjut, bahwa:
“Utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah Kewajiban untuk membayar utang yang
telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana yang diperjanjikan. Karena pengenaan sanksi atau denda
oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau
majelis arbitrase”.
1. Orang perorangan.
2. Baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun belum menikah jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh Debitur perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada percampuran harta.
3.
Perserikatan dan
PerkumpulanTidak Berbadan Hukum.
4.
Perseroan, perkumpulan
Koperasi, maupun Yayasan yang berbadan hukum.
Mengenai syarat-syarat untuk dapat dilakukan permohonan pernyataan
pailit adalah:
1. Debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit atas putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih
krediturnya. Menurut
Sutan Remi S. syarat-syarat untuk dipailitkan :
2.
Syarat paling sedikit harus ada
2 (dua) Kreditur;
3.
Syarat harus adanya utang;
4.
Syarat utang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih;
5. Syarat cukup satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
C. Akibat Pernyataan Pailit
Secara umum
akibat pernyataan pailit adalah:
1) Kekayaan Debitur pailit yang masuk harta pailit merupakan
sitaan umum atas harta
pihak yang dinyatakan pailit. Harta Pailit meliputi seluruh kekayaan
debitur ada waktu putusan pailit diucapkan serta segala apa yang diperoleh
debitur selama kepailitan. Barang-barang yang tidak termasuk harta Pailit
diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Kepailitan.
2) Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan
tidak mengenai diri pribadi debitur pailit.
3) Debitur demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan
menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit. Keputusan pailit diucapkan
termasuk hari tersebut (Pasal 2 Undang-undang Kepailitan dan Pasal 24 ayat (1)
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
4) Segala perikatan yang timbul sesudah putusan pailit
diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan
harta pailit (Pasal 23 UU Kepailitan.
5) Harta pailit diurus dan kuasa oleh Kurator untuk
kepentingan semua kreditur dan debitur, dan Hakim Pegawas memimpin atau
mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
6) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh dan/atau terhadap Kurator (Pasal 26 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.